BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Lingkungan kita sedang terancam. Secara mengejutkan udara yang kita hirup, air yang
kita minum dan tanah yang kita andalkan untuk menanam bahan makanan telah
terkontaminasi secara langsung oleh hasil aktivitas manusia. Polusi dari sampah
industri seperti tumpahan bahan kimia, produk rumah tangga dan peptisida telah
menyebabkan kontaminasi pada lingkungan. Bertambahnya jumlah bahan kimia
beracun menyebabkan ancaman bagi kesehatan lingkungan dan organisme hidup yang
ada di dalamnya.
Perkembangan pembangunan di Indonesia khususnya
bidang industri, senantiasa meningkatkan kemakmuran dan dapat menambah lapangan
pekerjaan bagi masyarakat kita. Namun di lain pihak, perkembangan industri
memiliki dampak terhadap meningkatnya kuantitas dan kualitas limbah yang
dihasilkan termasuk di dalamnya adalah limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Bila tidak ditangani dengan baik dan benar, limbah B3 akan menimbulkan
pencemaran terhadap lingkungan.
Pencemaran atau polusi bukanlah merupakan hal baru,
bahkan tidak sedikit dari kita yang sudah memahami pengaruh yang ditimbulkan
oleh pencemaran atau polusi lingkungan terhadap kelangsungan dan keseimbangan
ekosistem. Polusi dapat didefinisikan sebagai kontaminasi lingkungan oleh
bahan-bahan yang dapat mengganggu kesehatan manusia, kualitas kehidupan, dan
juga fungsi alami dari ekosistem. Walaupun pencemaran lingkungan dapat
disebabkan oleh proses alami, aktivitas manusia yang notabenenya sebagai
pengguna lingkungan adalah sangat dominan sebagai penyebabnya, baik yang
dilakukan secara sengaja ataupun tidak.
Berdasarkan kemampuan terdegradasinya di lingkungan,
polutan digolongkan atas dua golongan:
1.
Polutan yang mudah terdegradasi
(biodegradable pollutant), yaitu bahan seperti sampah yang mudah terdegradasi
di lingkungan. Jenis polutan ini akan menimbulkan masalah lingkungan bila
kecepatan produksinya lebih cepat dari kecepatan degradasinya.
2.
Polutan yang sukar terdegradasi atau
lambat sekali terdegradasi (nondegradable pollutant), dapat menimbulkan masalah
lingkungan yang cukup serius.
Bahan polutan yang banyak dibuang ke lingkungan terdiri dari bahan pelarut (kloroform, karbontetraklorida), pestisida (DDT, lindane), herbisida (aroklor, antrazin, 2,4-D), fungisida (pentaklorofenol), insektisida (organofosfat), petrokimia (polycyclic aromatic hydrocarbon [PAH], benzena, toluena, xilena), polychlorinated biphenyls (PCBs), logam berat, bahanbahan radioaktif, dan masih banyak lagi bahan berbahaya yang dibuang ke lingkungan, seperti yang tertera dalam lampiran Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.
Bahan polutan yang banyak dibuang ke lingkungan terdiri dari bahan pelarut (kloroform, karbontetraklorida), pestisida (DDT, lindane), herbisida (aroklor, antrazin, 2,4-D), fungisida (pentaklorofenol), insektisida (organofosfat), petrokimia (polycyclic aromatic hydrocarbon [PAH], benzena, toluena, xilena), polychlorinated biphenyls (PCBs), logam berat, bahanbahan radioaktif, dan masih banyak lagi bahan berbahaya yang dibuang ke lingkungan, seperti yang tertera dalam lampiran Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.
Untuk mengatasi
limbah (khususnya limbah B3) dapat digunakan metode biologis sebagai alternatif
yang aman, karena polutan yang mudah terdegradasi dapat diuraikan oleh
mikroorganisme menjadi bahan yang tidak berbahaya seperti CO2 dan H2O. Cara
biologis atau biodegradasi oleh mikroorganisme, merupakan salah satu cara yang
tepat, efektif dan hampir tidak ada pengaruh sampingan pada lingkungan. Hal ini
dikarenakan tidak menghasilkan racun ataupun blooming (peledakan jumlah
bakteri). Mikroorganisme akan mati seiring dengan habisnya polutan dilokasi
kontaminan tersebut.
Hanya bioteknologi yang dipertimbangkan untuk menjadi kunci dalam
mengidentifikasi dan memecahkan masalah kesehatan manusia. Bioteknologi juga
menjadi peralatan yang bagus untuk pembelajaran atau perbaikan terhadap
buruknya kesehatan akibat polusi lingkungan.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penyusun menemukan
beberapa permasalahan dalam pembuatan makalah ini, yaitu diantara sebagai
berikut :
1.
Apakah pengertian Bioremediasi ?
2.
Apakah tujuan dari biormediasi ?
3.
Apa sajakah mikroorganisme yang berperan dalam proses
bioremediasi ?
4.
Bagaimanakah proses bioremediasi ?
5.
Apa sajakah jenis-jenis bioremediasi ?
6.
Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi bioremediasi?
7.
Apa sajakah kekurangan dan kelebihan bioremediasi ?
1.3 Tujuan
dan Maksud Penulisan
Adapun tujuan dan maksud penulisan makalah ini, diantaranya :
a.
Untuk Mengetahui pengertian bioremediasi
b.
Untuk mengetahui tujuan penggunaan dari biremediasi
c.
Untuk mengetahui mikroorganisme yang berperan dalam
bioremedisi
d.
Untuk mengetahui proses bioremediasi
e.
Untuk mengetahui jenis-jenis bioremediasi
f.
Untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi
bioremediasi
g.
Untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan bioremediasi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Bioremediasi
Bioremediasi berasal
dari dua kata yaitu bio dan remediasi yang dapat diartikan sebagai
proses dalam menyelesaikan masalah. Menurut Munir (2006), bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi
lingkungan dengan memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran.
Menurut Sunarko (2001), bioremediasi
mempunyai potensi untuk menjadi salah satu teknologi lingkungan yang bersih,
alami, dan paling murah untuk mengantisipasi masalah-masalah lingkungan.
Menurut Ciroreksoko(1996), bioremediasi diartikan sebagai proses
pendegradasian bahan organik berbahaya secara biologis menjadi senyawa lain
seperti karbondioksida (CO2), metan, dan air. Sedangkan menurut Craword (1996),
bioremediasi merujuk pada penggunaan secara produktif proses biodegradatif
untuk menghilangkan atau mendetoksi polutan (biasanya kontaminan tanah, air dan
sedimen) yang mencemari lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat.
Jadi bioremediasi adalah salah satu teknologi alternatif untuk mengatasi
masalah lingkungan dengan memanfaatkan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme
yang dimaksud adalah khamir, fungi (mycoremediasi), yeast, alga dan bakteri
yang berfungsi sebagai agen bioremediator. Selain dengan memanfaatkan
mikroorganisme, bioremediasi juga dapat pula memanfaatkan tanaman air. Tanaman
air memiliki kemampuan secara umum untuk menetralisir komponen-komponen
tertentu di dalam perairan dan sangat bermanfaat dalam proses pengolahan limbah
cair ( misalnya menyingkirkan kelebihan nutrien, logam dan bakteri patogen).
Penggunaan tumbuhan ini biasa dikenal dengan istilah fitoremediasi.
Bioremediasi juga
dapat dikatakan sebagai proses penguraian limbah organik/anorganik polutan
secara biologi dalam kondisi terkendali.
2.2 Tujuan
Bioremediasi
Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi
zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon
dioksida dan air) atau dengan kata lain
mengontrol, mereduksi atau bahkan mereduksi bahan pencemar dari
lingkungan.
2.3
Jenis-jenis Mikroorganisme yang berperan dalam bioremediasi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bioremediasi adalah
salah satu teknologi alternatif untuk mengatasi masalah lingkungan dengan
memanfaatkan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme yang dimaksud adalah
khamir, fungi (mycoremediasi), yeast, alga dan bakteri. Mikroorganisme akan mendegradasi
zat pencemar atau polutan menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun.
Polutan dapat dibedakan menjadi dua yaitu bahan pencemar organik dan sintetik
(buatan). Bahan pencemar dapat dibedakan berdasarkan kemampuan terdegradasinya
di lingkungan yaitu :
a. Bahan pencemar yang mudah terdegradasi (biodegradable pollutant), yaitu
bahan yang mudah terdegradasi di lingkungan dan dapat diuraikan atau
didekomposisi, baik secara alamiah yang dilakukan oleh dekomposer (bakteri dan
jamur) ataupun yang disengaja oleh manusia, contohnya adalah limbah rumah
tangga. Jenis polutan ini akan menimbulkan masalah lingkungan bila kecepatan
produksinya lebih cepat dari kecepatan degradasinya.
b. Bahan pencemar yang sukar terdegradasi atau lambat sekali terdegradasi
(nondegradable pollutant), dapat menimbulkan masalah lingkungan yang cukup
serius. Contohnya adalah jenis logam berat seperti timbal (Pb) dan merkuri.
Sedangkan senyawa-senyawa pencemar menurut keberadaannya dapat dibedakan
menjadi :
a.
Senyawa-senyawa yang secara alami ditemukan di alam dan jumlahnya
(konsentrasinya) sangat tinggi, contohnya antara lain minyak mentah (hasil
penyulingan), fosfat dan logam berat.
b. Senyawa
xenobiotik yaitu senyawa kimia hasil rekayasa manusia yang sebelumnya tidak
pernah ditemukan di alam, contohnya adalah pestisida, herbisida, plastik dan
serat sintesis.
Dalam bioremediasi, lintasan biodegradasi berbagai senyawa kimia yang
berbahaya dapat dimengerti berdasarkan lintasan mekanisme dari beberapa senyawa
kimia alami seperti hidrokarbon, lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Sebagian
besar dari prosesnya, terutama tahap akhir metabolisme, umumnya berlangsung
melalui proses yang sama. Polimer alami yang mendapat perhatian karena sukar
terdegradasi di lingkungan adalah lignoselulosa (kayu) terutama bagian
ligninnya.
Berikut ini merupakan beberapa jenis-jenis mikroorganisme yang berperan
dalam mendegradasi polutan minyak bumi dan logam berat menjadi bahan yang tidak
beracun.
1. Pencemaran minyak bumi
Bahan utama yang terkandung di dalam minyak bumi adalah hidrokarbon
alifatik dan aromatik. Minyak bumi menghasilkan fraksi hidrokarbon dari
proses destilasi bertingkat. Apabila keberadaan minyak bumi berlebihan di alam,
masing-masing fraksi minyak bumi akan menyebabkan pencemaran yang akan
mengganggu kestabilan ekosistem yang dicemarinya. Di dalam minyak bumi terdapat
dua macam komponen yang dibagi berdasarkan kemampuan mikroorganisme
menguraikannya, yaitu komponen minyak bumi yang mudah diuraikan oleh
mikroorganisme dan komponen yang sulit didegradasi oleh mikroorganisme.
ü Komponen
minyak bumi yang mudah didegradasi oleh bakteri merupakan komponen terbesar
dalam minyak bumi atau mendominasi, yaitu alkana yang bersifat lebih mudah
larut dalam air dan terdifusi ke dalam membran sel bakteri. Jumlah bakteri yang
mendegradasi komponen ini relatif banyak karena substratnya yang melimpah di
dalam minyak bumi. Isolat bakteri pendegradasi komponen minyak bumi ini
biasanya merupakan pengoksidasi alkana normal.
ü Komponen
minyak bumi yang sulit didegradasi merupakan komponen yang jumlahnya lebih
kecil dibanding komponen yang mudah didegradasi. Hal ini menyebabkan bakteri
pendegradasi komponen ini berjumlah lebih sedikit dan tumbuh lebih lambat
karena kalah bersaing dengan pendegradasi alkana yang memiliki substrat lebih
banyak. Isolasi bakteri ini biasanya memanfaatkan komponen minyak bumi yang
masih ada setelah pertumbuhan lengkap bakteri pendegradasi komponen minyak bumi
yang mudah didegradasi.
Beberapa bakteri dan fungi diketahui
dapat digunakan untuk mendegradasi minyak bumi. Beberapa contoh bakteri yang
selanjutnya disebut bakteri hidrokarbonuklastik yaitu bakteri yang dapat
menguraikan komponen minyak bumi karena kemampuannya mengoksidasi hidrokarbon
dan menjadikan hidrokarbon sebagai donor elektronnya. Adapun contoh dari
bakteri hidrokarbonuklastik yaitu bakteri dari genus Achromobacter,
Arthrobacter, Acinetobacter, Actinomyces, Aeromonas, Brevibacterium,
Flavobacterium, Moraxella, Klebsiella, Xanthomyces dan Pseudomonas, Bacillus.
Beberapa contoh fungi yang digunakan dalam biodegradasi minyak bumi adalah
fungi dari genus Phanerochaete, Cunninghamella, Penicillium, Candida,
Sp.orobolomyce, Cladosp.orium, Debaromyces, Fusarium, Hansenula,
Rhodosp.oridium, Rhodoturula, Torulopsis, Trichoderma, Trichosp.oron.
Sejumlah bakteri seperti Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter calcoaceticus,
Arthrobacter sp., Streptomyces viridans dan lain-lain menghasilkan senyawa
biosurfaktan atau bioemulsi. Kemampuan bakteri dalam memproduksi biosurfaktan
berkaitan dengan keberadaan enzim regulatori yang berperan dalam sintesis
biosurfaktan. Biosurfaktan merupakan komponen mikroorganisme yang terdiri atas
molekul hidrofobik dan hidrofilik, yang mampu mengikat
molekul hidrokarbon tidak larut air dan mampu menurunkan tegangan
permukaan. Selain itu biosurfaktan secara ekstraseluler menyebabkan
emulsifikasi hidrokarbon sehingga mudah untuk didegradasi oleh bakteri.
Biosurfaktan meningkatkan ketersediaan substrat yang tidak larut melalui
beberapa mekanisme. Dengan adanya biosurfaktan, substrat yang berupa
cairan akan teremulsi dibentuk menjadi misel-misel, dan menyebarkannya ke
permukaan sel bakteri sehingga lebih mudah masuk ke dalam sel. Umumnya ada dua
macam biosurfaktan yang dihasilkan bakteri yaitu :
Ø Surfaktan
dengan berat molekul rendah (seperti glikolipid, soforolipid, trehalosalipid,
asam lemak dan fosfolipid) yang terdiri dari molekul hidrofobik dan hidrofilik.
Kelompok ini bersifat aktif permukaan, ditandai dengan adanya penurunan
tegangan permukaan medium cair.
Ø Polimer
dengan berat molekul besar, yang dikenal dengan bioemulsifier polisakarida
amfifatik. Dalam medium cair, bioemulsifier ini mempengaruhi pembentukan
emulsi serta kestabilannya dan tidak selalu menunjukkan penurunan tegangan
permukaan medium.
Ø Pelepasan
biosurfaktan ini tergantung dari substrat hidrokarbon yang ada. Ada substrat
(misalnya seperti pada pelumas) yang menyebabkan biosurfaktan hanya melekat
pada permukaan membran sel, namun tidak diekskresikan ke dalam medium. Namun,
ada beberapa substrat hidrokarbon (misal heksadekan) yang menyebabkan
biosurfaktan juga dilepaskan ke dalam medium. Hal ini terjadi karena heksadekan
menyebabkan sel bakteri lebih bersifat hidrofobik. Oleh karena itu,
senyawa hidrokarbon pada komponen permukaan sel yang hidrofobik itu
dapat menyebabkan sel tersebut kehilangan integritas struktural selnya sehingga
melepaskan biosurfaktan untuk membran sel itu sendiri dan juga melepaskannya ke
dalam medium.
Secara umum terdapat tiga cara
transpor hidrokarbon ke dalam sel bakteri yaitu sebagai berikut:
a. Interaksi
sel dengan hidrokarbon yang terlarut dalam fase air. Pada kasus ini, umumnya
rata-rata kelarutan hidrokarbon oleh proses fisika sangat rendah
sehingga tidak dapat mendukung.
b. Kontak
langsung (perlekatan) sel dengan permukaan tetesan hidrokarbon yang
lebih besar daripada sel mikroba. Pada kasus yang kedua ini, perlekatan dapat
terjadi karena sel bakteri bersifat hidrofobik. Sel mikroba melekat pada
permukaan tetesan hidrokarbon yang lebih besar daripada sel dan
pengambilan substrat dilakukan dengan difusi atau transpor aktif. Perlekatan
ini terjadi karena adanya biosurfaktan pada membran sel bakteri Pseudomonas.
c. Interaksi
sel dengan tetesan hidrokarbon yang telah teremulsi atau
tersolubilisasi oleh bakteri. Pada kasus ini sel mikroba berinteraksi dengan
partikel hidrokarbon yang lebih kecil daripada sel. Hidrokarbon dapat
teremulsi dan tersolubilisasi dengan adanya biosurfaktan yang dilepaskan oleh
bakteri Pseudomonas ke dalam medium.
Berikut ini merupakan jenis-jenis
bakteri pendegradasi hidrokarbon pada minyak bumi yaitu:
1) Pseudomonas sp.
Pseudomonas berbentuk batang dengan
diameter 0,5 – 1 x 1,5 – 5,0 mikrometer. Bakteri ini merupakan organisme gram
negatif yang motilitasnya dibantu oleh satu atau beberapa flagella yang terdapat
pada bagian polar. Akan tetapi ada juga yang hampir tidak mampu bergerak.
Bersifat aerobik obligat yaitu oksigen berfungsi sebagai terminal elektron
aseptor pada proses metabolismenya. Kebanyakan sp.esies ini tidak bisa hidup
pada kondisi asam pada pH 4,5 dan tidak memerlukan bahan-bahan organik.
Bersifat oksidasi negatif atau positif, katalase positif dan kemoorganotropik.
Dapat menggunakan H2 dan CO sebagai sumber energi. Bakteri pseudomonas yang
umum digunakan sebagai pendegradasi hidrokarbon antara lain Pseudomonas
aeruginosa, Pseudomonas stutzeri, dan Pseudomonas diminuta.
Salah satu faktor yang sering
membatasi kemampuan bakteri Pseudomonas dalam mendegradasi
senyawa hidrokarbon adalah sifat kelarutannya yang rendah, sehingga
sulit mencapai sel bakteri. Adapun mekanisme degradasi hidrokarbon di dalam sel
bakteri Pseudomonas yaitu:
·
Mekanisme degradasi hidrokarbon alifatik
Pseudomonas menggunakan hidrokarbon tersebut untuk pertumbuhannya. Penggunaan hidrokarbon alifatik jenuh merupakan proses aerobik (menggunakan oksigen). Tanpa adanya O2, hidrokarbon ini tidak didegradasi. Langkah pendegradasian hidrokarbon alifatik jenuh oleh Pseudomonas meliputi oksidasi molekuler (O2) sebagai sumber reaktan dan penggabungan satu atom oksigen ke dalam hidrokarbon teroksidasi.
Pseudomonas menggunakan hidrokarbon tersebut untuk pertumbuhannya. Penggunaan hidrokarbon alifatik jenuh merupakan proses aerobik (menggunakan oksigen). Tanpa adanya O2, hidrokarbon ini tidak didegradasi. Langkah pendegradasian hidrokarbon alifatik jenuh oleh Pseudomonas meliputi oksidasi molekuler (O2) sebagai sumber reaktan dan penggabungan satu atom oksigen ke dalam hidrokarbon teroksidasi.
·
Mekanisme degradasi hidrokarbon aromatik
Banyak senyawa ini digunakan sebagai donor elektron secara aerobik oleh bakteri Pseudomonas. Degradasi senyawa hidrokarbon aromatik disandikan dalam plasmid atau kromosom oleh gen xy/E. Gen ini berperan dalam produksi enzim katekol 2,3-dioksigenase. Metabolisme senyawa ini oleh bakteri diawali dengan pembentukan Protocatechuate atau catechol atau senyawa yang secara struktur berhubungan dengan senyawa ini. Kedua senyawa ini selanjutnya didegradasi oleh enzim katekol 2,3-dioksigenase menjadi senyawa yang dapat masuk ke dalam siklus Krebs (siklus asam sitrat), yaitu suksinat, asetil KoA, dan piruvat.
Banyak senyawa ini digunakan sebagai donor elektron secara aerobik oleh bakteri Pseudomonas. Degradasi senyawa hidrokarbon aromatik disandikan dalam plasmid atau kromosom oleh gen xy/E. Gen ini berperan dalam produksi enzim katekol 2,3-dioksigenase. Metabolisme senyawa ini oleh bakteri diawali dengan pembentukan Protocatechuate atau catechol atau senyawa yang secara struktur berhubungan dengan senyawa ini. Kedua senyawa ini selanjutnya didegradasi oleh enzim katekol 2,3-dioksigenase menjadi senyawa yang dapat masuk ke dalam siklus Krebs (siklus asam sitrat), yaitu suksinat, asetil KoA, dan piruvat.
2) Arthrobacter sp.
Pada kultur yang masih muda
Arthrobacter berbentuk batang yang tidak teratur 0,8 – 1,2 x 1 – 8
mikrometer. Pada proses pertumbuhan batang segmentasinya berbentuk cocus kecil
dengan diameter 0,6 – 1 mikrometer. Gram positif, tidak berspora, tidak suka
asam, aerobik, kemoorganotropik. Memproduksi sedikit atau tidak sama sekali asam
dan gas yang berasal dari glukosa atau karbohidrat lainnya. Katalase positif,
temperatur optimum 25 – 30oC.
3) Acinetobacter sp.
Memiliki bentuk seperti batang
dengan diameter 0,9 – 1,6 mikrometer dan panjang 1,5- 2,5 mikrometer. Berbentuk
bulat panjang pada fase stasioner pertumbuhannya. Bakteri ini tidak dapat
membentuk spora. Tipe selnya adalah gram negatif, tetapi sulit untuk diwarnai.
Bakteri ini bersifat aerobik, sangat memerlukan oksigen sebagai terminal
elektron pada metabolisme. Semua tipe bakteri ini tumbuh pada suhu 20-300 C,
dan tumbuh optimum pada suhu 33-350 C. Bersifat oksidasi negatif dan katalase
positif. Bakteri ini memiliki kemampuan untuk menggunakan rantai hidrokarbon
sebagai sumber nutrisi, sehingga mampu meremidiasi tanah yang tercemar
oleh minyak. Bakteri ini bisa menggunakan amonium dan garam nitrit sebagai
sumber nitrogen, akan tetapi tidak memiliki pengaruh yang signifikan. D-glukosa
adalah satu-satunya golongan heksosa yang bisa digunakan oleh bakteri ini,
sedangkan pentosa D-ribosa, D-silosa, dan L-arabinosa juga bisa digunakan
sebagai sumber karbon oleh beberapa strain.
4) Bacillus sp.
Umumnya bakteri ini merupakan
mikroorganisme sel tunggal, berbentuk batang pendek (biasanya rantai panjang).
Mempunyai ukuran lebar 1,0-1,2 mm dan panjang 3-5 mm. Merupakan bakteri gram
positif dan bersifat aerob. Adapun suhu pertumbuhan maksimumnya yaitu 30-50oC
dan minimumnya 5-20oC dengan pH pertumbuhan 4,3-9,3. Bakteri ini mempunyai
kemampuan dalam mendegradasi minyak bumi, dimana bakteri ini menggunakan minyak
bumi sebagai satu-satunya sumber karbon untuk menghasilkan energi dan
pertumbuhannya. Pada konsentrasi yang rendah, bakteri ini dapat merombak
hidrokarbon minyak bumi dengan cepat. Jenis Bacillus sp. yang umumnya
digunakan seperti Bacillus subtilis, Bacillus cereus, Bacillus laterospor.
Selain dari golongan bakteri,
mikroba pendegradasi hidrokarbon juga dapat dilakukan oleh fungi. Fungi
pendegradasi hidrokarbon umumnya berasal dari genus Phanerochaete,
Cunninghamella, Penicillium, Candida, Sporobolomyces, Cladosporium. Jamur dari
genus ini mendegradasi hidrokarbon polisiklik aromatik. Jamur Phanerochaete
chrysosporium mampu mendegradasi berbagai senyawa hidrofobik pencemar tanah
yang persisten. Adapun oksidasi dan pelarutan hidrokarbon polisiklik aromatik
oleh Phanerochaete chrysosporium menggunakan enzim lignin peroksidase.
Bila terdapat H2O2, enzim lignin peroksidase yang dihasilkan akan menarik satu
elektron dari PAH yang selanjutnya membentuk senyawa kuinon yang merupakan
hasil metabolisme. Cincin benzena yang sudah terlepas dari PAH selanjutnya
dioksidasi menjadi molekul-molekul lain dan digunakan oleh sel mikroba sebagai
sumber energi misalnya CO2.
Jamur dari golongan Deuteromycota
(Aspergillus niger, Penicillium glabrum, P. janthinellum, Zygomycete,
Cunninghamella elegans ), Basidiomycetes (Crinipellis stipitaria) diketahui
juga dapat mendegradasi hidrokarbon polisiklik aromatik. Sistem enzim
monooksigenase Sitokrom P-450 pada jamur ini memiliki kemiripan dengan sistem
yang dimiliki mamalia. Adapun langkah-langkahnya yaitu pembentukan
monofenol, difenol, dihidrodiol dan quinon dan terbentuk gugus tambahan yang
larut air (misalnya sulfat, glukuronida, ksilosida, glukosida). Senyawa ini
merupakan hasil detoksikasi pada jamur dan mamalia.
2.
Pencemaran Logam Berat
Secara umum diketahui bahwa logam
berat merupakan unsur yang berbahaya di permukaan bumi, sehingga kontaminasi
logam berat di lingkungan merupakan masalah yang besar. Persoalan spesifik
logam berat di lingkungan terutama akumulasinya sampai pada rantai makanan dan
keberadaannya di alam menyebabkan keracunan terhadap tanah, udara maupun air.
Bahan pencemar senyawa anorganik/mineral misalnya logam-logam berat seperti
merkuri (Hg), kadmium (Cd), Timah hitam (pb), tembaga (Cu), timbal (Pb),
dan garam-garam anorganik. Bahan pencemar berupa logam-logam berat yang
masuk ke dalam tubuh biasanya melalui makanan dan dapat tertimbun dalam
organ-organ tubuh. Mikroba memerlukan logam sebagai fungsi struktural dan
katalis serta sebagai donor atau reseptor elektron dalam metabolisme energi.
Kemampuan interaksi mikroba terhadap logam antara lain :
a. Mengikat
ion logam yang ada di lingkungan eksternal pada permukaan sel serta membawanya
ke dalam sel untuk berbagai fungsi sel. Contohnya bakteri Thiobaccilus sp.
Mampu menggunakan Fe dalam aktivasi enzim format dehidrogenase pada sitokrom.
b.
Menggunakan logam sebagai donor atau akseptor elektron dalam metabolisme
energi.
c. Mengikat
logam sebagai kation pada permukaan sel yang bermuatan negatif dalam proses
yang disebut biosorpsi.
Mikroba mengurangi bahaya pencemaran
logam berat dapat dilakukan dengan cara detoksifikasi, biohidrometakurgi,
bioleaching, dan bioakumulasi.
Ø Detoksifikasi
(biosorpsi) pada prinsipnya mengubah ion logam berat yang bersifat toksik
menjadi senyawa yang bersifat tidak toksik. Proses ini umumnya berlangsung
dalam kondisi anaerob dan memanfaatkan senyawa kimia sebagai akseptor elektron.
Ø Biohidrometalurgi
pada prinsipnya mengubah ion logam yang terikat pada suatu senyawa yang tidak
dapat larut dalam air menjadi senyawa yang dapat larut dalam air.
Ø Bioleaching
merupakan aktivitas mikroba untuk melarutkan logam berat dari senyawa yang
mengikatnya dalam bentuk ion bebas. Biasanya mikroba menghasilkan asam dan
senyawa pelarut untuk membebaskan ion logam dari senyawa pengikatnya. Proses
ini biasanya langsung diikuti dengan akumulasi ion logam.
Ø Bioakumulasi
merupakan interaksi mikroba dan ion-ion logam yang berhubungan dengan lintasan
metabolism.
Interaksi mikroba dengan logam di
alam adalah imobilisasi logam dari fase larut menjadi tidak atau sedikit
larut sehingga mudah dipisahkan. Adapun contoh mikroba pendegradasi
logam yaitu :
1)
Enterobacter cloacae dan Pseudomonas fluorescens mampu mengubah Cr (VI) menjadi
Cr (III) dengan bantuan senyawa-senyawa hasil metabolisme, misalnya hidrogen
sulfida, asam askorbat, glutathion, sistein, dll.
2)
Desulfovibrio sp. membentuk senyawa sulfida dengan memanfaatkan hidrogen
sulfida yang dibebaskan untuk mengatasi pencemaran logam Cu.
3)
Desulfuromonas acetoxidans merupakan bakteri anerobik laut yang menggunakan
sulfur dan besi sebagai penerima elektron untuk mengoksidasi molekul organik
dalam endapan yang bisa menghasilkan energi.
4) Bakteri
pereduksi sulfat contohnya Desulfotomaculum sp. Dalam melakukan reduksi sulfat,
bakteri ini menggunakan sulfat sebagai sumber energi yaitu sebagai akseptor
elektron dan menggunakan bahan organik sebagai sumber karbon. Karbon
tersebut selain berperan sebagai sumber donor elektron dalam
metabolismenya juga merupakan bahan penyusun selnya. Adapun reaksi reduksi
sulfat oleh bakteri ini adalah sebagai berikut.
5) Bakteri
belerang, khususnya Thiobacillus ferroxidans banyak berperan pada logam-logam
dalam bentuk senyawa sulfida untuk menghasilkan senyawa sulfat.
6) Mikroalga
contohnya Spirulina sp., merupakan salah satu jenis alga dengan sel tunggal
yang termasuk dalam kelas Cyanophyceae. Sel Spirulina sp. berbentuk silindris,
memiliki dinding sel tipis. Alga ini mempunyai kemampuan yang tinggi untuk
mengikat ion-ion logam dari larutan dan mengadsorpsi logam berat karena di
dalam alga terdapat gugus fungsi yang dapat melakukan pengikatan dengan ion
logam. Gugus fungsi tersebut terutama gugus karboksil, hidroksil, amina,
sulfudril imadazol, sulfat dan sulfonat yang terdapat dalam dinding sel dalam
sitoplasma.
7) Jamur
Saccharomyces cerevisiae dan Candida sp. dapat mengakumulasikan Pb dari dalam perairan,
Citrobacter dan Rhizopus arrhizus memiliki kemampuan menyerap uranium.
Penggunaan jamur mikoriza juga telah diketahui dapat meningkatkan serapan logam
dan menghindarkan tanaman dari keracunan logam berat.
2.4
Proses Bioremediasi
Proses utama pada bioremediasi adalah biodegradasi, biotransformasi dan
biokatalis. Saat bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang diproduksi oleh
mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur kimia
polutan tersebut. Enzim mempercepat proses tersebut dengan cara menurunkan
energi aktivasi, yaitu energi yang dibutuhkan untuk memulai suatu reaksi. Pada
proses ini terjadi biotransformasi atau biodetoksifikasi senyawa toksik menjadi
senyawa yang kurang toksik atau tidak toksik. Pada banyak kasus, biotransformasi
berujung pada biodegradasi. Degradasi senyawa kimia oleh mikroba di lingkungan
merupakan proses yang sangat penting untuk mengurangi kadar bahan-bahan
berbahaya di lingkungan, yang berlangsung melalui suatu seri reaksi kimia yang
cukup kompleks dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak
beracun. Misalnya mengubah bahan kimia menjadi air dan gas yang tidak berbahaya
misalnya CO2. Dalam proses degradasinya, mikroba menggunakan senyawa kimia
tersebut untuk pertumbuhan dan reproduksinya melalui berbagai proses oksidasi.
Enzim yang dihasilkan juga berperan untuk mengkatalis reaksi degradasi,
sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai keseimbangan.
Lintasan biodegradasi berbagai senyawa kimia yang berbahaya dapat dimengerti berdasarkan
lintasan mekanisme dari beberapa senyawa kimia alami seperti hidrokarbon,
lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Sebagian besar dari prosesnya, terutama
tahap akhir metabolisme umumnya berlangsung melalui proses yang sama.
Supaya proses tersebut dapat berlangsung optimal, diperlukan kondisi
lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan dan perkembangangbiakan
mikroorganisme. Tidak terciptanya kondisi yang optimum akan mengakibatkan
aktivitas degradasi biokimia mikroorganisme tidak dapat berlangsung dengan
baik, sehingga senyawa-senyawa beracun menjadi persisten di lingkungan. Agar
tujuan tersebut tercapai diperlukan pemahaman akan prinsip-prinsip biologis
tentang degradasi senyawa-senyawa beracun, pengaruh kondisi lingkungan terhadap
mikroorganisme yang terkait dan reaksi-reaksi yang dikatalisnya. Salah satu
cara untuk meningkatkan bioremediasi adalah melalui teknologi genetik.
Teknologi genetik molekular sangat penting untuk mengidentifikasi gen-gen yang
mengkode enzim yang terkait pada bioremediasi. Karakterisasi dari gen-gen yang
bersangkutan dapat meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana
mikroba-mikroba memodifikasi polutan beracun menjadi tidak berbahaya.
2.5
Jenis-jenis Bioremediasi
A. Bioremediasi yang melibatkan
mikroba terdapat 3 macam yaitu :
1. Biostimulasi
Biostimulasi
adalah memperbanyak dan mempercepat pertumbuhan mikroba yang sudah ada di
daerah tercemar dengan cara memberikan lingkungan pertumbuhan yang diperlukan,
yaitu penambahan nutrien dan oksigen. Jika jumlah mikroba yang ada dalam jumlah
sedikit, maka harus ditambahkan mikroba dalam konsentrasi yang tinggi sehingga
bioproses dapat terjadi. Mikroba yang ditambahkan adalah mikroba yang
sebelumnya diisolasi dari lahan tercemar kemudian setelah melalui proses
penyesuaian di laboratorium di perbanyak dan dikembalikan ke tempat asalnya
untuk memulai bioproses. Namun sebaliknya, jika kondisi yang dibutuhkan
tidak terpenuhi, mikroba akan tumbuh dengan lambat atau mati. Secara umum
kondisi yang diperlukan ini tidak dapat ditemukan di area yang tercemar
(Suhardi, 2010).
2. Bioaugmentasi
Bioaugmentasi
merupakan penambahan produk mikroba komersial ke dalam limbah cair untuk
meningkatkan efisiensi dalam pengolahan limbah secara biologi. Cara ini paling
sering digunakan dalam menghilangkan kontaminasi di suatu tempat. Hambatan
mekanisme ini yaitu sulit untuk mengontrol kondisi situs yang tercemar agar
mikroba dapat berkembang dengan optimal. Selain itu mikroba perlu beradaptasi
dengan lingkungan tersebut (Uwityangyoyo, 2011). Menurut Munir (2006), dalam
beberapa hal, teknik bioaugmentasi juga diikuti dengan penambahan nutrien
tertentu.
Para ilmuwan
belum sepenuhnya mengerti seluruh mekanisme yang terkait dalam bioremediasi,
dan mikroorganisme yang dilepaskan ke lingkungan yang asing kemungkinan sulit
untuk beradaptasi.
3.
Bioremediasi
Intrinsik
Bioremediasi jenis ini terjadi
secara alami di dalam air atau tanah yang tercemar.
B. Bioremediasi berdasarkan lokasi
terdapat 2 macam yaitu:
1. In
situ, yaitu dapat dilakukan
langsung di lokasi tanah tercemar ( proses bioremediasi
yang digunakan berada pada tempat lokasi limbah tersebut). Proses bioremadiasi in situ pada lapisan
surface juga ditentukan oleh faktor bio-kimiawi dan hidrogeologi
2. Ex
situ, yaitu bioremediasi yang dilakukan dengan mengambil limbah tersebut lalu
ditreatment ditempat lain, setelah itu baru dikembalikan ke tempat asal. Lalu diberi perlakuan khusus dengan memakai
mikroba. Bioremediasi ini bisa lebih cepat dan mudah dikontrol dibanding
in-situ, ia pun mampu me-remediasi jenis kontaminan dan jenis tanah yang lebih
beragam.
2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi Bioremediasi.
Keberhasilan proses biodegradasi banyak ditentukan oleh aktivitas enzim.
Dengan demikian mikroorganisme yang berpotensi menghasilkan enzim pendegradasi
hidrokarbon perlu dioptimalkan aktivitasnya dengan pengaturan kondisi dan
penambahan suplemen yang sesuai. Dalam hal ini perlu diperhatikan faktor-faktor
lingkungan yang mempengaruhi proses bioremediasi, yang meliputi kondisi tanah,
temperature, oksigen, dan nutrient yang tersedia.
a)
Lingkungan
Proses biodegradasi memerlukan tipe
tanah yang dapat mendukung kelancaran aliran nutrient, enzim-enzim mikrobial
dan air. Terhentinya aliran tersebut akan mengakibatkan terbentuknya kondisi
anaerob sehingga proses biodegradasi aerobik menjadi tidak efektif.
Karakteristik tanah yang cocok untuk bioremediasi in situ adalah mengandung
butiran pasir ataupun kerikil kasar sehingga dispersi oksigen dan nutrient
dapat berlangsung dengan baik. Kelembaban tanah juga penting untuk menjamin
kelancaran sirkulasi nutrien dan substrat di dalam tanah.
b)
Temperatur
Temperatur yang optimal untuk degradasi
hidrokaron adalah 30-40˚C. Ladislao, et. al. (2007) mengatakan bahwa temperatur
yang digunakan pada suhu 38˚C bukan pilihan yang valid karena tidak sesuai
dengan kondisi di Inggris untuk mengontrol mikroorganisme patogen. Pada
temperatur yang rendah, viskositas minyak akan meningkat mengakibatkan
volatilitas alkana rantai pendek yang bersifat toksik menurun dan kelarutannya
di air akan meningkat sehingga proses biodegradasi akan terhambat. Suhu sangat
berpengaruh terhadap lokasi tempat dilaksanakannya bioremediasi
c)
Oksigen
Langkah awal katabolisme senyawa
hidrokaron oleh bakteri maupun kapang adalah oksidasi substrat dengan katalis
enzim oksidase, dengan demikian tersedianya oksigen merupakan syarat
keberhasilan degradasi hidrokarbon minyak. Ketersediaan oksigen di tanah
tergantung pada (a) kecepatan konsumsi oleh mikroorganisme tanah, (b) tipe
tanah dan (c) kehadiran substrat lain yang juga bereaksi dengan oksigen. Terbatasnya
oksigen, merupakan salah satu faktor pembatas dalam biodegradasi hidrokarbon
minyak
d)
pH.
Pada tanah umumnya merupakan
lingkungan asam, alkali sangat jarang namun ada yang melaporkan pada pH 11.
Penyesuaian pH dari 4,5 menjadi 7,4 dengan penambahan kapur meningkatkan
penguraian minyak menjadi dua kali. Penyesuaian pH dapat merubah kelarutan,
bioavailabilitas, bentuk senyawa kimia polutan, dan makro & mikro nutrien.
Ketersediaan Ca, Mg, Na, K, NH4+, N dan P akan turun,
sedangkan penurunan pH menurunkan ketersediaan NO3- dan
Cl- . Cendawan yang lebih dikenal tahan terhadap asam akan lebih
berperan dibandingkan bakteri asam.
![]() |
e)
Kadar H2O dan karakter geologi.
Kadar air dan bentuk poros tanah
berpengaruh pada bioremediasi. Nilai aktivitas air dibutuhkan utk pertumbuhan
mikroba berkisar 0.9 - 1.0, umumnya kadar air 50-60%. Bioremediasi lebih
berhasil pada tanah yang poros.
f)
Keberadaan zat nutrisi.
Baik pada in situ & ex situ.
Bila tanah yang dipergunakan bekas pertanian mungkin tak perlu ditambah zat
nutrisi. Untuk hidrokarbon ditambah nitrogen & fosfor, dapat pula dengan
makro & mikro nutrisi yang lain.
Mikroorganisme
memerlukan nutrisi sebagai sumber karbon, energy dan keseimbangan metabolisme
sel. Dalam penanganan limbah minyak bumi biasanya dilakukan penambahan nutrisi
antara lain sumber nitrogen dan fosfor sehingga proses degradasi oleh
mikroorganisme berlangsung lebih cepat dan pertumbuhannya meningkat.
g)
Interaksi antar Polusi.
Fenomena lain
yang juga perlu mendapatkan perhatian dalam mengoptimalkan aktivitas
mikroorganisme untuk bioremediasi adalah interaksi antara beberapa galur
mikroorganisme di lingkungannya. Salah satu bentuknya adalah kometabolisme. Kometabolisme
merupakan proses transformasi senyawa secara tidak langsung sehingga tidak ada
energy yang dihasilkan.
2.7 Kelebihan dan Kekurangan Bioremediasi
Ø Kelebihan bioremediasi
sebagai berikut :
1)
Proses pelaksanaan dapat dilakukan langsung di daerah
tersebut dengan lahan yang sempit sekalipun.
2)
Mengubah pollutant bukan hanya memindahkannya.
3)
Proses degradasi dapat dilaksanakan dalam jangka waktu
yang cepat.
4)
Bioremediasi sangat aman digunakan karena menggunakan
mikroba yang secara alamiah sudah ada dilingkungan (tanah).
5)
Bioremediasi tidak menggunakan/menambahkan bahan kimia
berbahaya.
6)
Teknik pengolahannya mudah diterapkan dan murah biaya.
Ø Kekurangan
bioremediasi sebagai berikut :
1) Tidak
semua bahan kimia dapat diolahsecara bioremediasi.
2) Membutuhkan
pemantauan yang ekstensif .
3) Membutuhkan
lokasi tertentu.
4) Pengotornya
bersifat toksik
5) Padat
ilmiah
6) Berpotensi
menghasilkan produk yangtidak dikenal
7) Dapat
digabung dengan teknik pengolahan lain
8) Persepsi
sebagai teknologi yang belum teruji
Sumber:
Wisnjnuprapto (1996)
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Bioremediasi adalah proses
pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur,
bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar
menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).
Jenis-jenis bioremediasi meliputi :
A. Bioremediasi
yang melibatkan mikroba terdapat 3 macam yaitu :
1. Biostimulasi, yaitu memperbanyak
dan mempercepat pertumbuhan mikroba yang sudah ada di daerah tercemar dengan
cara memberikan lingkungan pertumbuhan yang diperlukan, yaitu penambahan
nutrien dan oksigen.
2. Bioaugmentasi, yaitu penambahan
produk mikroba komersial ke dalam limbah cair untuk meningkatkan efisiensi
dalam pengolahan limbah secara biologi.
3. Bioremediasi Intrinsik, terjadi
secara alami di dalam air atau tanah yang tercemar.
B. Bioremediasi
berdasarkan lokasi, meliputi :
1. In
situ, yaitu dapat dilakukan
langsung di lokasi tanah tercemar ( proses bioremediasi
yang digunakan berada pada tempat lokasi limbah tersebut).
2. Ex
situ, yaitu bioremediasi yang dilakukan dengan mengambil limbah tersebut lalu
ditreatment ditempat lain, setelah itu baru dikembalikan ke tempat asal.
3.2 Saran
Penyusun menyarankan agar makalah ini dapat digunakan sebaik-baiknya serta
kita harus bisa menjaga lingkungan dengan baik dengan cara membuang sampah pada
tempatnya. Lingkungan merupakan tempat kita yang harus dilestarikan dan dijaga.
Karena hal tersebut juga bisa bermanfaat untuk manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin, H.S., M. Yani, F. Aribowo, and A.M. Fauzi.
2004. Bioremediation: A Case Study in East Kalimantan, Indonesia. Proceeding
the 1st COE International Symposium “Environmental Degradation and Ecosystem
Restoration in East Asia” Tokyo University – Japan. 9 p.
Baker, J. M., Clark, R. B., Kingston, P. F. and
Jenkins, R. H. (1990). Natural Recovery of Cold Water Marine Environments after
an Oil Spill. 13th AMOP Seminar, June 1990
Cookson, J.T. 1995. Bioremediation Engineering :
Design and Application. McGraw-Hill, Inc. Toronto.
Budianto, H. 2006. Perbaikan
lahan terkontaminasi minyak bumi secara bioremediasi
Munawar dkk. 2005. Bioremediasi Tumpahan Minyak Mentah Dengan Metode
Biostimulasi Di Lingkungan Pantai
Surabaya Timur. Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar